Teori dan Filosofi dalam PJJ

Teori model pembelajaran, tidak hanya dititikberatkan kepada penyampaian informasi
kepada peserta didik, tapi juga bagaimana peserta didik dapat mencerna dan membangun
pengetahuan baru dari informasi yang diperolehnya. Pandangan lama yang masih dipakai
sampai saat ini, adalah pendekatan penyampaian informasi yang diibaratkan seperti  kerja
komputer. (Seamans,1990).

Konsep ini menjelaskan bahwa  pengajar  memberikan gambaran nyata dari hal-hal yang
abstrak dan menyampaikannya kepada peserta didik melalui sebuah media. Peserta didik
kemudian menerima, merekam, dan menyimpan informasi tersebut. Kemudian  Horton
(1994) memodifikasi pendekatan ini dengan menambahkan dua faktor tambahan yakni:
  keadaan peserta didik (lingkungan, situasi, sensor penerimaan lainnya) dan
  pikiran (ingatan, emosi, keingintahuan, dan minat).

Dengan konsep ini peserta didik akan mengembangkan gambarannya sendiri dan
menggunakan informasi yang diperolehnya untuk membentuk pengalaman baru, sesuai
dengan daya pikirnya.

Pendekatan lainnya didasarkan kepada bagaimana membangun prinsip-prinsip, sehingga
peserta didik secara aktif membangun kemampuan yang dimiliki dengan berinteraksi
dengan bahan pembelajarannya. Ini merupakan dasar dari kecerdasan yang tersituasi
(situated cognition)  (Streibel, 1991)  dan pembelajaran berbasis masalah  (Problem-based
learning) (Savery & Duffy, 1995). Menurut cara pandang ini, adanya penggabungan interaksi fisik dan sosial ke dalam permasalahan dan pemecahanya.

Walaupun kedua teori tersebut sangat berbeda, namun dalam menerapkan pembelajaran
yang efektif harus dimulai dengan pemahaman empiris: objek, kegiatan, dan praktek yang
mencerminkan bentuk lingkungan si pembelajar. pengetahuan bukanlah seperangkat fakta,
konsep atau kaidah yang siap diterima dan diingat oleh peserta didik.

Peserta didik harus mengkonstruksi pengetahuannya sendiri dan memberi makna melalui
pengalaman nyata. Peserta didik perlu dibiasakan untuk memunculkan ide-ide baru,
memecahkan masalah, dan menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya. Dalam ide-ide
konstruktif, biarkan peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuannya. Hal ini sejalan
dengan esensi konstruktivisme bahwa peserta didik harus menemukan dan
mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain.

Apabila dikehendaki, informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Menurut Herbert A. Simon,
“Saat belajar terbaik manusia adalah saat berinteraksi dengan dunia nyata, dan dari
masalah yang dihadapinya”. Kondisi belajar yang mendekati dunia nyata dan berdasarkan
masalah yang dihadapinya dapat memotivasi mereka dalam belajar.

Sholosser dan Anderson (1994)  dengan mengacu kepada teori Desmond Keegan,
menerangkan dalam sistem PJJ harus mampu menciptakan interaksi belajar-mengajar yang
sesungguhnya tidak ada (abstrak) dan mengintegrasikannya ke dalam proses pembelajaran.

Hillary Perraton (1988) mendefinisikan peranan  PJJ melalui pemilihan media yang efektif,
sehingga pengajar tidak lagi menjadi penyampai informasi namun hanya sebagai fasilitator,
sehingga proses pembelajaran akan menghasilkan kerangka pengetahuan di antara dosen
dan peserta didik.

PJJ memerlukan interaksi yang tinggi antara pengajar dan peserta didik, sekalipun di wilayah
terpencil. Manfaat interaksi ini adalah: PJJ memperbolehkan peserta didik untuk mendengar
dan mungkin melihat  pengajarnya, sebagaimana keharusan dosen untuk menjawab
pertanyaan atau komentar dari peserta didiknya. 

0 komentar:

Posting Komentar